Jumat, 20 Juni 2008

TANDATANGAN PENGUBAH NASIB

Paruh kedua tahun 1980-an, Lian Lubis tamat dari SMA negeri Panyabungan. Di kota Panyabungan, waktu itu hanya ada satu SMA. SMA terdekat ada di Tanobato (baru diresmikan) dan Kecamatan Siabu. Dapat dipastikan, semua siswa yang baru tamat akan merasa bingung, terombang ambing, persis layangan putus. Tak tahu harus kemana. Jika tetap di kampung, maka pacul dan “tajak” sudah menunggu atau pisau deres untuk menyadap karet sudah menanti. Luas sawah dan kebun karet tidak pernah bertambah, tapi jumlah penduduk terus meningkat. Rasio lahan perkapita semakin merosot dan produktivitas lahan yang stagnan. Sumber penghidupan makin susah. Dua tiga tahun setelah lulus SMA, jika tidak merantau, tidak ada lagi yang difikirkan selain menikah. Kehidupan selanjutnya, tak ubahnya seperti generasi-generasi sebelumnya, bergumul dengan kemiskinan. Ritme kehidupan seperti ini, dilalui sebagian besar anak muda di Panyabungan ketika itu. Tidak sampai 10 persen anak muda yang berani mengadu nasib di kota-kota besar.

Tidak lebih dari hitungan jari tangan yang bisa melanjutkan ke PTS karena masalah biaya. Menembus PTN adalah pekerjaan yang sulit luar biasa. Bukan karena siswa SMA kala itu tidak menguasai materi yang diberikan, tetapi materi yang diterima tidak cukup untuk menembus Sepenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Nilai ujian lokal (rapor) jauh lebih tinggi dari NEM (Nilai Ebtanas Murni). Ini indikator sederhana yang menunjukkan betapa materi pelajaran yang diterima jauh ketinggalan dibandingkan dengan standard nasional. Kira-kira seperti itulah masalah yang dirasakan oleh peserta UAN (Ujian Akhir Nasional) sekarang ini, terutama SLTA yang berada di daerah-daerah pedesaan. Jadi, persoalan mutu pendidikan itu melibatkan banyak variabel yang saling terkait.

Jika ingin masuk PTN ketika itu, maka SMA-nya harus ditambah setahun lagi dengan mengiktui Bimbingan Tes di Medan. Jalur ini yang ditempuh adek kandung Lian Lubis, yang menduduki salah satu kursi panas di Teknik Kimia USU. Hanya hitungan jari, putra Panyabungan yang mampu menaklukkan USU dengan cara ini. Coba hitung jumlah mereka di markas Komplek Pamen, Jl. Letjend Jamin Ginting, Medan. Dari tahun ke tahun, jumlah mereka tidak pernah menggembirakan.

Nasib lagi mujur, Lian Lubis menerima sepucuk surat dari SMAN Panyabungan berkop Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen P dan K. Isinya menyatakan bahwa Lian Lubis diterima di salah satu PTN di Sumatera Selatan lewat jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan). Ketika itu, Lian merupakan angkatan ke-2 jalur PMDK. Cikal bakal jalur PMDK berasal dari gagasan (Alm) Andi Hakim Nasution, mantan rektor IPB, yang kebetulan masih keturunan Mandailing, meskipun lahirnya sudah di daerah lain. Tepatnya berasal dari Pidoli, Panyabungan.

Pada waktu itu, alumni SMAN Panyabungan yang diterima di PTN lewat jalur PMDK lumayan banyak. Namun karena informasi tentang jurusan-jurusan yang prospektif di PTN tidak diketahui, maka banyak yang diterima di PTN yang salah pilih dan baru sadar setelah Semester pertama berlangsung. Ada yang diterima di FKIP jurusan Pendidikan Moral Pancasila, Sejarah, Olah Raga dan Kesehatan, Bahasa Indonesia dan jurusan-jurusan yang "tidak diperhitungkan" lainnya. Ini satu cerita menarik, kawan Lian Lubis diterima di Jurusan Tata Boga salah satu PTN. Rupanya difikirnya, Tata Boga itu lanjutan dari Tata Buku, yang merupakan pelajaran pavorite di kala itu, karena selalu mencatat uang masuk dan uang keluar. Setelah berlangsung satu semester, yang dipelajari tidak keluar dari resep-resep masakan. Akhirnya kawan tersebut pulang kampung, kembali pegang pacul. Ini pekerjaan yang lebih maskulin daripada jadi tukang masak. Demikian fikirnya.

Di bagian bawah surat PMDK itu, tertera sebuah tandatangan atas nama Dirjend Dikti. Tandatangan itu sangat bersahaja. Formatnya datar tetapi dengan lekuk yang rame, namun konsisten. Tarikan awal tandatangan mewakili huruf depan nama pemiliknya. Nama aslinya terdiri dari dua kata, namun dalam tandatangan digabung dalam satu tarikan. Tanpa garis lurus di bawahnya seperti kebiasaan tandatangan pada umumnya. Bila diperhatikan dengan seksama, tandatangan itu masih mewakili nama terang. Lekukan tandangan itu menggambarkan bahwa pemiliknya bukanlah orang yang mudah atau gampangan, tetapi sangat konsisten dalam prinsip. Di bawah tandatangan itu ada nama terang bergelar guru besar.

Entah apa sebabnya, Lian sangat terkesan dengan tandatangan itu. Ribuan tandatangan pernah dilihat Lian, tapi yang satu ini lain, seolah-olah punya daya magis. Mungkin karena tandatangan ini terkait dengan masa depan Lian. Kawan…., tandatangan juga bisa menggambarkan kepribadian seseorang. Tandatangan yang di bagian depan besar (seperti pintu gerbang) terus mengecil ke belakang, tapi dibagian belakang seolah diikat, seperti digembok. Pemilik tandatangan seperti ini, orangnya sangat pelit medit. Semua uang masuk akan sulit keluar, bahkan menetespun tidak. Persis bubu penangkap belut (luka bolut dalam bahasa Panyabungan). Contoh tandatangan seperti ini adalah milik mantan atasan Lian.

Karena pemilik tandatangan di surat PMDK itu orang penting di Republik ini, sudah pasti tantangan itu sering tertuang sebagai pengesahan berlakunya kebijakan-kebijakan penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Ada yang menjadi korban kebijakan, tapi banyak yang beruntung dengan tandatangan itu. Lian termasuk yang beruntung.

Surat itu merupakan tiket gratis masuk PTN. Maksudnya, masuknya tanpa tes, tetapi uang kuliah tetap bayar. SPP hanya Rp65.000 per semester. Kertas suratnya relatif lebar dari ukuran kertas biasa tapi lebih pendek. Kiri kanan kertas berlubang rapi. Tiga tahun kemudian, Lian baru tahu bahwa kertas itu adalah continous form yang dicetak dengan printer dot matrik dengan huruf times new roman 12. Karena teknologi printer masih sederhana, maka jelas kelihatan bahwa huruf-huruf di kertas itu merupakan rangkaian titik-titik yang membentuk huruf. Masih kasar.

Untuk saat itu, surat tersebut merupakan dokumen paling penting bagi Lian. Menurut hitung-hitungan akal sehat, surat itu merupakan pembuka pintu gerbang masa depan. Kala itu, lulusan perguruan tinggi, apalagi PTN masih sangat diperhitungkan dalam dunia kerja. Kemungkinan drop out ada, tapi relatif kecil, karena Lian sudah terlatih menderita dan terbiasa bekerja keras. Baginya, di atas semua itu, masih ada do’a. Jika dilalui dengan sungguh-sungguh, insyaallah bisa lulus. Bukankah surat itu merupakan legitimasi adaministratif kemampuan pemiliknya untuk menempuh pendidikan tinggi. Sebagai manusia, rasa rendah diri karena berasal dari kelas sosial terendah pasti ada, tetapi motivasi dan mimpi-mimpi mengalahkan semua itu.

Karena dokumen penting dan merupakan tonggak sejarah kehidupan, surat itu disimpan ditempat yang sangat rapi. Tasnya ditarok di atas lemari, agar aman dari banjir. Hujan tidak hujan, kedatangan banjir tidak bisa diduga di kota Palembang. Bulan purnama mempengaruhi pasang surut air sungai Musi dan pasang surut menentukan banjir di daerah-daerah rawa. Hingga tas penyimpan dokumen itu beberapa kali diganti karena lapuk, namun isinya tetap terawat. Beberapa kali pindah tempat kos, surat sakral itu tetap menjadi prioritas utama.

Waktu terus berlalu, 15 tahun kemudian, Lian menempuh Program Doktor di Universitas tertua dan ternama di kota Yogyakarta. Semester pertama di kelas Doktoral, maha guru pemilik tandatangan itu mengajar Metodologi Ilmu Ekonomi. Lian tersentak bukan main. Tidak pernah terbayangkan, pemilik tandatangan yang ia kagumi selama bertahun-tahun itu kini berada di depan kelas. Ya… Alloh… Mimpikah ini atau kenyataan? Hanya Engkau yang Kuasa atas segalanya. Seperi jumpa sang idola dengan rasa rindu yang meledak-ledak, tapi luapan ekspresi yang hiteris harus disimpan total. Ingat……!! Ini kelas doktoral, dan bukan acara Dangdut Mania.

Kelas kecil dengan 6 orang mahasiswa doktoral. Tanpa membaca bahan sebelumnya, rasanya panas dingin memasuki kelas. Semacam kelas round table, diskusi berlangsung serius. Gaya bicaranya datar, pelan dan volume suaranya agak rendah, sistematika bicaranya runut dengan logika-logika yang luar biasa. Dalam narasinya, ilmu pengetahuan itu menjadi utuh dan menjadi bangunan yang kokoh, sementara dalam otak mahasiswanya, materi yang dia jelaskan itu, bukan hanya terfragmentasi tetapi malahan berantakan terkeping-keping dalam bagan-bagan pengetahuan. Enam bab sekali kuliah dirangkumnya dengan narasinya sendiri. Meskipun sudah sepuh, tetapi daya ingatnya luar biasa tajamnya. Fisiknya rontok termakan usia, tetapi otaknya tak pernah menua. Setelah melanglang buana memangku berbagai jabatan penting dalam pemerintahan, pensiunnya kembali ke kampus dan masih mampu mengajar S-3. Belum pernah ketemu orang dengan daya ingat setajam itu. Sejarah dunia, sejarah Majapahit sampai pada perang Vietnam dapat dirunut kejadiannya, lengkap dengan tahun dan nama pelakunya. Tidak diragukan lagi, maha guru itu sebagai alumni Universitas California, Berkley, AS. Garis pemikiran dari Universitas ini telah meletakkan fondasi-fondasi ekonomi di zaman ORBA, meskipun akhirnya menuai hujan kritik dan menyebut aliran pemikiran ini sebagai mafia Berkeley.

Setelah usai kelas perdana dengan maha guru itu, Lian buru-buru pulang ke tempat kost. Dia periksa kembali tandatangan guru besar itu di absensi mahasiswa dan dicocokkannya dengan surat PMDK yang berumur 15 tahun itu. Luar biasa, tidak ada yang berubah. Goresan demi goresan tetap konsisten. Sejak saat itu, timbul suatu keinginan yang kuat untuk memilih guru besar itu sebagai promotor (pembimbing) disertasinya.

Silsilah guru

Selama kuliah S-1 di Palembang, Lian ketemu dengan Profesor Hasibuan (sebut saja pak HS). Tentu saja masih tergolong suku Mandailing. Menurut silsilahnya, pak HS berasal dari Padang Bolak, Padang Sidempuan Timur. Pak HS adalah ilmuan yang sangat kharismatik, disiplin, pekerja keras, brillian, seorang penulis, peneliti dan sekaligus orator. Singkat cerita, Lian menjadi asisten pak HS. Harus diakui, Pak HS mempunyai peran besar dalam kehidupan Lian. Bukan hanya sebagai guru dalam menulis dan meneliti, tetapi menjadi guru dalam mengarugi kehidupan. Lian mempunyai utang budi yang tak pernah terbayar dengan apapun pada pak HS. Sulit untuk menguraikan besarnya peran pak HS dalam kehidupan Lian, cukup kusingkat dengan satu kalimat, “Pak HS merupakan orang ketiga yang paling dihormati Lian sepanjang hidupnya, setelah kedua orangtuanya”.

Pak HS sendiri adalah murid dari maha guru pemilik tandatangan itu. Jika diurut, Lian merupakan murid dari murid guru besar di Yogya itu. Setingkat cucu jika ditamsilkan menurut silsilah keluarga. Meskipun begitu, semua berlangsung secara professional. Di satu sisi ada manfaatnya, tapi di sisi lain, mudoratnya juga tidak kalah besarnya. Lian harus menjaga betul agar nama pak HS tidak pudar di mata gurunya, dengan menampilkan kinerja yang bagus. Setelah lama berinteraksi dengan maha guru di Yogya itu, Lian sadar betul bahwa karakter pak HS tidak jauh beda dengan gurunya. Mungkin kebetulan sama, atau tanpa disadari sifat-sifat guru, sedikit banyak menurun pada muridnya. Secara mental, Lian siap menghadapinya, meskipun tidak banyak mahasiswa doktoral yang nekad menjadikannya sebagai pembimbing.

Penutup

Pragmen ini kuakhiri sampai di sini. Tandatangan idaman itu tak pernah digoreskan lagi. Pemiliknya telah menghadap Sang Pencipta, kira-kira delapan bulan setelah Lian diwisuda. Terakhir kali ketemu dengan beliau pada saat pamitan setelah wisuda. Pada pertemuan terakhir itu, untuk pertama kalinya Lian melihat maha guru itu meneteskan air mata. Air mata pertama dan terakhir. Waktu itu, Lian berkata begini, “Pak saya mohon maaf atas segala kesalahan. Sekian lama saya terus mengganggu bapak, pasti saya banyak salah, baik disengaja maupun tidak.” Lianpun tidak sanggup berkata lagi. Keduanya sama-sama menitikkan air mata. Guru yang kukagumi itu langsung masuk rumah, sambil berkata, “OK, saya sekarang sangat sensitive, setelah kesehatan saya sangat menurun belakangan ini.” Jelas kelihatan, air mukanya menggambarkan kesedihan dan keharuan yang mendalam. Inikah tanda-tanda isyarat perpisahan telah dekat? Perubahan drastis pada karakter maha guru itu terlihat secara signifikan pasca operasinya yang terakhir. Sebelumnya, beliau keras dalam mendidik, konsisten dan sangat disiplin. Terlambat dari waktu perjanjian tidak bisa ditolerirnya, tapi terlalu cepat dari perjanjian juga bermasalah baginya.

Lian Lubis-lah Doktor terakhir yang dihasilkan oleh pendidik bertangan dingin itu. Selamat jalan guruku, semoga mendapat tempat yang layak di sisiNya. Ilmu yang kau berikan akan terus kusampaikan. Semoga pahala dari ilmu yang kauajarkan terus mengalir ke rekening amalmu. Amiiiin.

Rabu, 07 Mei 2008

MIMPI JADI KENYATAAN

Selain doko-doko pisang khas Panyabungan yang menjadi kesukaannya, Lian Lubis selalu menyambar sobekan-sobekan koran yang menjadi pembungkus belanjaan ibunya. Pembungkus ikan asin, pembungkus belut sale, bungkus bawang, cabe merah, rimbang, kentang, dll. Umumnya belanjaan kering dibungkus dengan koran, sedang yang basah dibungkus dengan daun pisang. Kondisi ini di akhir tahun 1970-an. Pembungkus plastik masih belum populer. Koran-koran yang masuk Panyabungan adalah Waspada, Analisa dan Sinar Indonesia Baru (SIB) terbitan Medan. Semua tulisan di koran pembungkus itu dibaca tuntas oleh Lian Lubis. Sudah pasti, beritanya terpotong-potong dan kedaluarsa. Paling baru berita sebulan yang lalu.

Koran pembungkus menjadi bahan bacaan Lian Lubis. Sudah pasti, sebabnya karena tidak mampu beli koran, tidak punya televisi dan tanpa radio. Listrik saja waktu itu belum masuk ke rumah Lian. Keluarga Lian termasuk lapisan terbawah dalam struktur masyarakat di kampungnya. Istilah Bank Dunia, the poorest of the poor, kelas terbawah kelompok pengelluaran menurut BPS, selalu tersembunyi di balik sekat-sekat sosial menurut Mahbub Ul Haq atau termiskin di dunia menurut Hamdan ATT. Kelak di bagian lain akan kugambarkan potret kemiskinan keluarga ini. Sekarang cukup kusingkat menjadi satu kalimat "delapan orang bersaudara tanpa aset produktif sama sekali." Bayangkan kawan..., bagaimana keluarga Lian berjuang hari demi hari untuk mengisi perut 10 orang, minimal dua kali dalam sehari.

Suatu pagi, Lian Lubis membaca berita tentang seseorang bernama Prof. Dr. ‘Pulan’ Lubis, SH. Pulan bukan nama sebenarnya. Orang terkenal dan mempunyai posisi penting di USU Medan. Begitu membaca gelar tersebut, hati Lian bergetar tidak karuan. Jantungnya berdetak keras, seperti baru saja menginjak ular sawah. Untuk pertama kalinya Lian membaca nama seperti itu, meskipun dari mulut ke mulut gelar Profesor sudah sering didengarnya. Di kampungnya, selain marga, hanya ada tambahan nama dengan Haji. Aduhai…. Namanya panjang sekali. Ada lima kata. Nama aslinya hanya satu kata yang terdiri dari lima huruf (P-u-l-a-n). Lubis adalah nama keluarga. Profesor, Doktor dan Sarjana Hukum merupakan gelar akademik. Kayaknya keren juga. Nama asliku sendiri hanya satu kata, L-i-a-n yang terdiri dari 4 huruf. Di Panyabungan marga jarang dipanggil, karena banyak yang sama. Orang selalu memanggil nama asli atau nama plesetan dengan nada mengejek. Sehari-hari, Lian Lubis dipanggil Lian tok.
Nama profesor itu selalu terngiang-ngiang di kepala Lian. Tidak pernah lupa. Kemana-mana selalu ingat. Hanya hilang menjelang tidur. Cukup mengganggu, tetapi terekam di alam bawah sadar.

Beberapa Minggu kemudian, nama Profesor itu muncul lagi di koran pembungkus. Sebagai orang penting dan terkenal, sudah pasti namanya selalu menghiasai koran-koran di kolom head line. Di koran pembungkus, hanya nasib-nasipan menunggu berita sang Profesor tadi. Probalitasnya acak, tidak bisa diramalkan. Lian ngebet dengan nama profesornya, bukan karena sesama Lubis. Memang, …. sesungguhnya sesama Lubis itu saling bersaudara … (…innamal Lubisuuna ikhwaana…). Bukan itu, sekali lagi bukan karena itu, tapi semata-mata karena gelarnya yang berderet-deret itu.

Suatu hari, ibu Lian beli sandal jepit. Kebetulan dibungkus dengan selembar Koran penuh, dari halaman satu nyambung ke halaman 15. Kali ini tidak ada berita yang terpotong. Kebetulan berita head line meliput kegiatan KKN (kuliah kerja nyata) USU Medan. Tersebutlah nama orang-orang hebat dengan gelar akademik yang panjang-panjang. Semakin panjang gelarnya, semakin keren dilihat. Di halaman 16-nya ada berita tentang Sergey Bubka, atlet loncat tinggi galah yang kesohor itu. Atlet kelahiran Ukrania itu menjuarai 5 kali kejuaraan dunia. Berita itu ternyata masukl dalam ujian Ebtanas, mata pelajaran Olah Raga dan Kesehatan. Lumayan juga, koran pembungkus dapat meringankan ujian. Di halaman 16 tertulis bertita Alat Kontrasepsi yang Aman dan Tanpa Efek Samping. Di pojok kanan bawah ada iklan kursus Tata Buku Bon A dan Bon B serta kursus Mengetik Lancar Sepuluh Jari.

Perlahan tapi pasti, Lian Lubis mulai menghayal yang bukan-bukan. Mungkinkah aku mendapatkan gelar sepanjang itu? Mungkinkah,….. Bagaimana caranya…..? Dimana dapatnya gelar itu,…? Apakah harus potong kerbau, sapi atau kambing? Apakah orangnya harus jenius, anak orang kaya atau harus tinggal di kota besar?. Apakah bisa dibeli. Berapa harganya? Soal beli-membeli, itu kelemahan utama Lian. Mungkinkah orang kampung, anak tukang warung bisa mendapatkannya. Pikiran itu selalu berkecamuk dalam otaknya, namun tak pernah sekalipun diungkapkannya, kepada siapapun. Orang sekampung akan tertawa dan mengejek, jika sampai hayalan itu terucap.

Diam-diam Lian masuk ke kamar dan mengambil secarik kertas. Ditulisnya di atas kertas itu besar-besar, Prof. Dr. Lian Lubis, SE, M.Si. Dia pandangi kertas itu, cocok gak ya…? Ah… cocok gak cocok, pokoknya aku suka. Digantungnya di dinding kamar. Lebih panjang dari gelar Profesor Pulan. Gelar akademiknya ada lima plus marga. Setelah itu, kertas tadi disimpan di tempat tersembunyi tanpa ada yang melihat. Sekali lagi, semua itu tidak ada yang tahu, kecuali Lian sendiri.

Pada suatu malam, di kampung Sigalapang diadakan peringan Maulid Nabi. Ustadz Samsul tamatan pesantren Purba Baru berceramah selama 2 jam penuh. Ulama yang ahli fiqih itu mengatakan bahwa kita boleh minta apa saja kepada Allah yang Maha Pengasih. “Jangan sekali-kali minta kepada manusia, selain syirik, manusia itu sendiri tidak kuasa memberikan apapun kepadamu. Mintalah kepadaNya, tanpa perantara. Allah maha pemurah. Do’a yang paling ampuh dilakukan sewaktu sujud terakhir rakaat terakhir setiap sholat. Tapi jangan sampai dilafalkan, itu akan menambah bacaan sujud dan hukumnya bid’ah. Cukup di dalam hati. Jangan bosan untuk berdo’a. Jika sudah terbiasa, maka do’a itu muncul secara otomatis.” Demikian ustadz Samsul yang piawai retorika itu.

Hanya bagian itu yang tersisa di kepala Lian Lubis dari ceramah dua jam itu. Ini metode yang paten. Lian punya keinginan besar atau tepatnya sekedar mimpi. Untuk saat ini, hanya itu yang paling tepat untuk dilakukan Lian. Mungkin juga metode ini dapat menundukkan Robi’ah yang lebih tertarik dengan Ramlan anak juragan kambing.
Semua system syaraf Lian, seluruh sel dalam tubuhnya, fikirannya, perasaannya, emosinya, semua terprogram dan tersistem pada mimpinya. Gerak-gerik dan semua tindakannya seakan-akan menuju ke sana. ‘…kamu akan menjadi seperti apa yang kamu inginkan…’ (QS…..)

Singkat cerita, Lian Lubis mempraktekkan metode do’a tadi sekitar 30 tahun lamanya. Ingat atau tidak ingat, doa’ itu muncul secara otomatis pada sujud terakhir rakaat terakhir setiap sholat. Mari kita hitung. Sholat wajib 5 kali sehari x 365 hari x 30 tahun = 34.750 kali. Ditambah lagi sholat-sholat sunat di Bulan Ramadhan dikurangi dengan sholat yang bolong-bolong. Digenapkan saja menjadi 34 ribu kali. Usaha yang luar biasa, tetapi semua itu berlangsung tanpa terasa. Tidak peduli sholatnya khusuk atau ngebut seperti ayam lapar mematok jagung. Mimpi itu selalu terlintas dalam fikiran Lian pada sujud terakhir rakaat terakhir setiap sholat. Semua itu pasti didengar Allah. Barangkali, Tuhan juga bosan mendengar permintaan yang sepele itu berpuluh ribu kali.

Dengan mengulangi permintaan itu lima kali sehari, rupanya sangat efektif untuk "mengecas" batere ketika mimpi itu sudah mulai pudar. Merapikan kembali sistem saraf untuk mengontrol fikiran dan semua gerak-gerik untuk mewujudkan mimpi itu. Do'a berulang itu juga telah 'menepis' semua mimpi-mimpi baru yang muncul silih berganti berseliweran dalam fikiran Lian. Dalam istilah Ekonometrika, do'a berulang itu telah mereduksi semua variabel pengganggu, sehingga mimpi awal tetap konsisten dan signifikan selama 30 tahun.

Interaksi situasi dan kondisi, baik sengaja maupun terpaksa telah menjadi modal dasar yang kuat untuk mencapai mimpi. Kemiskinan menempa Lian menjadi pekerja keras dan tahan banting, koran pembungkus telah memicu minat baca Lian untuk berkembang pesat, ustadz Mahmud telah mengajarkan do'a yang mustajab dan mimpi-mimpi membuat target semakin fokus dan konsisten sepanjang hidupnya. Kelak di bagian lain, akan kupaparkan bagaimana perjuangan Lian mewujudkan mimpi-mimpinya.

Kenyataan

Tepat jam 11.45 (30 tahun kemudian), tim penguji (9 orang) kembali memasuki ruang ujian. Berbaju jubah kebesaran berbaris menuju mimbar. Sangat sakral, seperti pengadilan tinggi kasus korupsi. Tapi ini bukan kasus korupsi. Sebentar lagi, keputusan pengadilan tinggi ‘akademik’ akan dibacakan. Jantung Lian Lubis berdegup keras. Setelah menduduki kursi masing-masing, ketua tim penguji, sekaligus promotor membacakan keputusan:
…… setelah menilai dan mempertimbangkan, saudara dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan. Semua undangan tepuk tangan. Dilanjutkan dengan sepatah kata dari promotor. Guru besar alumni Universitas California Berkeley itu memulai pidatonya: “Izinkan saya sebagai orang pertama yang memanggil saudara dengan sebutan Doktor Lian Lubis”. ….. dst……dst. Pidatonya ditutup dengan pesan agar dalam kondisi apapun tetap menjaga nama baik almamater.

Kampus tua yang kesohor di Yogya itu, baru saja melantik anak melarat Putra Mandailing sebagai Doktor baru. Modalnya hanya mimpi, do’a, kerja keras, motivasi, semangat dan mental baja. Semua itu diperolehnya dari pelajaran hidup sebagai orang miskin. Orang-orang kaya belum tentu mampu menempuh halang rintang yang begitu banyak. Berbahgialah jadi orang miskin. Kemiskinan itu adalah universitas terbaik untuk mendidik mental.

Malamnya Lian Lubis sholat Isya agak larut. Di sujud terakhir rakaat terakhir do’a Lian tetap seperti biasa. Setelah itu, Lian mengucapkan syukur. "Ya …. Allah. Malam ini aku tak mampu mengucapkan kata-kata lagi. Tiada kata yang pantas untuk melukiskan nikmatMu." Air matanya terus mengucur membasahi sajadah. Setetes air mata setara dengan ribuan kata-kata. Do’anya selama 30 tahun telah dikabulkan jam 11.45 siang tadi. Nasib anak manusia telah dibalikkan oleh Sang PenciptaNya. Diraihnya secarik kertas, ditulisnya kembali nama yang pernah dia tulis 30 tahun silam. "Masya Alloh .... Semua nama-nama ini sekarang sah kusandang, karena ijazahnya kumiliki."

Jauh sebelumnya, Lian Lubis juga telah menjadi kolumnis. Dia telah menulis lebih dari 100 buah artikel di berbagai media masa. Sebagian tulisan itu, mungkin kembali menemui nasibnya, menjadi pembungkus ikan asin, belut sale atau doko-doko.