Rabu, 07 Mei 2008

MIMPI JADI KENYATAAN

Selain doko-doko pisang khas Panyabungan yang menjadi kesukaannya, Lian Lubis selalu menyambar sobekan-sobekan koran yang menjadi pembungkus belanjaan ibunya. Pembungkus ikan asin, pembungkus belut sale, bungkus bawang, cabe merah, rimbang, kentang, dll. Umumnya belanjaan kering dibungkus dengan koran, sedang yang basah dibungkus dengan daun pisang. Kondisi ini di akhir tahun 1970-an. Pembungkus plastik masih belum populer. Koran-koran yang masuk Panyabungan adalah Waspada, Analisa dan Sinar Indonesia Baru (SIB) terbitan Medan. Semua tulisan di koran pembungkus itu dibaca tuntas oleh Lian Lubis. Sudah pasti, beritanya terpotong-potong dan kedaluarsa. Paling baru berita sebulan yang lalu.

Koran pembungkus menjadi bahan bacaan Lian Lubis. Sudah pasti, sebabnya karena tidak mampu beli koran, tidak punya televisi dan tanpa radio. Listrik saja waktu itu belum masuk ke rumah Lian. Keluarga Lian termasuk lapisan terbawah dalam struktur masyarakat di kampungnya. Istilah Bank Dunia, the poorest of the poor, kelas terbawah kelompok pengelluaran menurut BPS, selalu tersembunyi di balik sekat-sekat sosial menurut Mahbub Ul Haq atau termiskin di dunia menurut Hamdan ATT. Kelak di bagian lain akan kugambarkan potret kemiskinan keluarga ini. Sekarang cukup kusingkat menjadi satu kalimat "delapan orang bersaudara tanpa aset produktif sama sekali." Bayangkan kawan..., bagaimana keluarga Lian berjuang hari demi hari untuk mengisi perut 10 orang, minimal dua kali dalam sehari.

Suatu pagi, Lian Lubis membaca berita tentang seseorang bernama Prof. Dr. ‘Pulan’ Lubis, SH. Pulan bukan nama sebenarnya. Orang terkenal dan mempunyai posisi penting di USU Medan. Begitu membaca gelar tersebut, hati Lian bergetar tidak karuan. Jantungnya berdetak keras, seperti baru saja menginjak ular sawah. Untuk pertama kalinya Lian membaca nama seperti itu, meskipun dari mulut ke mulut gelar Profesor sudah sering didengarnya. Di kampungnya, selain marga, hanya ada tambahan nama dengan Haji. Aduhai…. Namanya panjang sekali. Ada lima kata. Nama aslinya hanya satu kata yang terdiri dari lima huruf (P-u-l-a-n). Lubis adalah nama keluarga. Profesor, Doktor dan Sarjana Hukum merupakan gelar akademik. Kayaknya keren juga. Nama asliku sendiri hanya satu kata, L-i-a-n yang terdiri dari 4 huruf. Di Panyabungan marga jarang dipanggil, karena banyak yang sama. Orang selalu memanggil nama asli atau nama plesetan dengan nada mengejek. Sehari-hari, Lian Lubis dipanggil Lian tok.
Nama profesor itu selalu terngiang-ngiang di kepala Lian. Tidak pernah lupa. Kemana-mana selalu ingat. Hanya hilang menjelang tidur. Cukup mengganggu, tetapi terekam di alam bawah sadar.

Beberapa Minggu kemudian, nama Profesor itu muncul lagi di koran pembungkus. Sebagai orang penting dan terkenal, sudah pasti namanya selalu menghiasai koran-koran di kolom head line. Di koran pembungkus, hanya nasib-nasipan menunggu berita sang Profesor tadi. Probalitasnya acak, tidak bisa diramalkan. Lian ngebet dengan nama profesornya, bukan karena sesama Lubis. Memang, …. sesungguhnya sesama Lubis itu saling bersaudara … (…innamal Lubisuuna ikhwaana…). Bukan itu, sekali lagi bukan karena itu, tapi semata-mata karena gelarnya yang berderet-deret itu.

Suatu hari, ibu Lian beli sandal jepit. Kebetulan dibungkus dengan selembar Koran penuh, dari halaman satu nyambung ke halaman 15. Kali ini tidak ada berita yang terpotong. Kebetulan berita head line meliput kegiatan KKN (kuliah kerja nyata) USU Medan. Tersebutlah nama orang-orang hebat dengan gelar akademik yang panjang-panjang. Semakin panjang gelarnya, semakin keren dilihat. Di halaman 16-nya ada berita tentang Sergey Bubka, atlet loncat tinggi galah yang kesohor itu. Atlet kelahiran Ukrania itu menjuarai 5 kali kejuaraan dunia. Berita itu ternyata masukl dalam ujian Ebtanas, mata pelajaran Olah Raga dan Kesehatan. Lumayan juga, koran pembungkus dapat meringankan ujian. Di halaman 16 tertulis bertita Alat Kontrasepsi yang Aman dan Tanpa Efek Samping. Di pojok kanan bawah ada iklan kursus Tata Buku Bon A dan Bon B serta kursus Mengetik Lancar Sepuluh Jari.

Perlahan tapi pasti, Lian Lubis mulai menghayal yang bukan-bukan. Mungkinkah aku mendapatkan gelar sepanjang itu? Mungkinkah,….. Bagaimana caranya…..? Dimana dapatnya gelar itu,…? Apakah harus potong kerbau, sapi atau kambing? Apakah orangnya harus jenius, anak orang kaya atau harus tinggal di kota besar?. Apakah bisa dibeli. Berapa harganya? Soal beli-membeli, itu kelemahan utama Lian. Mungkinkah orang kampung, anak tukang warung bisa mendapatkannya. Pikiran itu selalu berkecamuk dalam otaknya, namun tak pernah sekalipun diungkapkannya, kepada siapapun. Orang sekampung akan tertawa dan mengejek, jika sampai hayalan itu terucap.

Diam-diam Lian masuk ke kamar dan mengambil secarik kertas. Ditulisnya di atas kertas itu besar-besar, Prof. Dr. Lian Lubis, SE, M.Si. Dia pandangi kertas itu, cocok gak ya…? Ah… cocok gak cocok, pokoknya aku suka. Digantungnya di dinding kamar. Lebih panjang dari gelar Profesor Pulan. Gelar akademiknya ada lima plus marga. Setelah itu, kertas tadi disimpan di tempat tersembunyi tanpa ada yang melihat. Sekali lagi, semua itu tidak ada yang tahu, kecuali Lian sendiri.

Pada suatu malam, di kampung Sigalapang diadakan peringan Maulid Nabi. Ustadz Samsul tamatan pesantren Purba Baru berceramah selama 2 jam penuh. Ulama yang ahli fiqih itu mengatakan bahwa kita boleh minta apa saja kepada Allah yang Maha Pengasih. “Jangan sekali-kali minta kepada manusia, selain syirik, manusia itu sendiri tidak kuasa memberikan apapun kepadamu. Mintalah kepadaNya, tanpa perantara. Allah maha pemurah. Do’a yang paling ampuh dilakukan sewaktu sujud terakhir rakaat terakhir setiap sholat. Tapi jangan sampai dilafalkan, itu akan menambah bacaan sujud dan hukumnya bid’ah. Cukup di dalam hati. Jangan bosan untuk berdo’a. Jika sudah terbiasa, maka do’a itu muncul secara otomatis.” Demikian ustadz Samsul yang piawai retorika itu.

Hanya bagian itu yang tersisa di kepala Lian Lubis dari ceramah dua jam itu. Ini metode yang paten. Lian punya keinginan besar atau tepatnya sekedar mimpi. Untuk saat ini, hanya itu yang paling tepat untuk dilakukan Lian. Mungkin juga metode ini dapat menundukkan Robi’ah yang lebih tertarik dengan Ramlan anak juragan kambing.
Semua system syaraf Lian, seluruh sel dalam tubuhnya, fikirannya, perasaannya, emosinya, semua terprogram dan tersistem pada mimpinya. Gerak-gerik dan semua tindakannya seakan-akan menuju ke sana. ‘…kamu akan menjadi seperti apa yang kamu inginkan…’ (QS…..)

Singkat cerita, Lian Lubis mempraktekkan metode do’a tadi sekitar 30 tahun lamanya. Ingat atau tidak ingat, doa’ itu muncul secara otomatis pada sujud terakhir rakaat terakhir setiap sholat. Mari kita hitung. Sholat wajib 5 kali sehari x 365 hari x 30 tahun = 34.750 kali. Ditambah lagi sholat-sholat sunat di Bulan Ramadhan dikurangi dengan sholat yang bolong-bolong. Digenapkan saja menjadi 34 ribu kali. Usaha yang luar biasa, tetapi semua itu berlangsung tanpa terasa. Tidak peduli sholatnya khusuk atau ngebut seperti ayam lapar mematok jagung. Mimpi itu selalu terlintas dalam fikiran Lian pada sujud terakhir rakaat terakhir setiap sholat. Semua itu pasti didengar Allah. Barangkali, Tuhan juga bosan mendengar permintaan yang sepele itu berpuluh ribu kali.

Dengan mengulangi permintaan itu lima kali sehari, rupanya sangat efektif untuk "mengecas" batere ketika mimpi itu sudah mulai pudar. Merapikan kembali sistem saraf untuk mengontrol fikiran dan semua gerak-gerik untuk mewujudkan mimpi itu. Do'a berulang itu juga telah 'menepis' semua mimpi-mimpi baru yang muncul silih berganti berseliweran dalam fikiran Lian. Dalam istilah Ekonometrika, do'a berulang itu telah mereduksi semua variabel pengganggu, sehingga mimpi awal tetap konsisten dan signifikan selama 30 tahun.

Interaksi situasi dan kondisi, baik sengaja maupun terpaksa telah menjadi modal dasar yang kuat untuk mencapai mimpi. Kemiskinan menempa Lian menjadi pekerja keras dan tahan banting, koran pembungkus telah memicu minat baca Lian untuk berkembang pesat, ustadz Mahmud telah mengajarkan do'a yang mustajab dan mimpi-mimpi membuat target semakin fokus dan konsisten sepanjang hidupnya. Kelak di bagian lain, akan kupaparkan bagaimana perjuangan Lian mewujudkan mimpi-mimpinya.

Kenyataan

Tepat jam 11.45 (30 tahun kemudian), tim penguji (9 orang) kembali memasuki ruang ujian. Berbaju jubah kebesaran berbaris menuju mimbar. Sangat sakral, seperti pengadilan tinggi kasus korupsi. Tapi ini bukan kasus korupsi. Sebentar lagi, keputusan pengadilan tinggi ‘akademik’ akan dibacakan. Jantung Lian Lubis berdegup keras. Setelah menduduki kursi masing-masing, ketua tim penguji, sekaligus promotor membacakan keputusan:
…… setelah menilai dan mempertimbangkan, saudara dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan. Semua undangan tepuk tangan. Dilanjutkan dengan sepatah kata dari promotor. Guru besar alumni Universitas California Berkeley itu memulai pidatonya: “Izinkan saya sebagai orang pertama yang memanggil saudara dengan sebutan Doktor Lian Lubis”. ….. dst……dst. Pidatonya ditutup dengan pesan agar dalam kondisi apapun tetap menjaga nama baik almamater.

Kampus tua yang kesohor di Yogya itu, baru saja melantik anak melarat Putra Mandailing sebagai Doktor baru. Modalnya hanya mimpi, do’a, kerja keras, motivasi, semangat dan mental baja. Semua itu diperolehnya dari pelajaran hidup sebagai orang miskin. Orang-orang kaya belum tentu mampu menempuh halang rintang yang begitu banyak. Berbahgialah jadi orang miskin. Kemiskinan itu adalah universitas terbaik untuk mendidik mental.

Malamnya Lian Lubis sholat Isya agak larut. Di sujud terakhir rakaat terakhir do’a Lian tetap seperti biasa. Setelah itu, Lian mengucapkan syukur. "Ya …. Allah. Malam ini aku tak mampu mengucapkan kata-kata lagi. Tiada kata yang pantas untuk melukiskan nikmatMu." Air matanya terus mengucur membasahi sajadah. Setetes air mata setara dengan ribuan kata-kata. Do’anya selama 30 tahun telah dikabulkan jam 11.45 siang tadi. Nasib anak manusia telah dibalikkan oleh Sang PenciptaNya. Diraihnya secarik kertas, ditulisnya kembali nama yang pernah dia tulis 30 tahun silam. "Masya Alloh .... Semua nama-nama ini sekarang sah kusandang, karena ijazahnya kumiliki."

Jauh sebelumnya, Lian Lubis juga telah menjadi kolumnis. Dia telah menulis lebih dari 100 buah artikel di berbagai media masa. Sebagian tulisan itu, mungkin kembali menemui nasibnya, menjadi pembungkus ikan asin, belut sale atau doko-doko.