Jumat, 20 Juni 2008

TANDATANGAN PENGUBAH NASIB

Paruh kedua tahun 1980-an, Lian Lubis tamat dari SMA negeri Panyabungan. Di kota Panyabungan, waktu itu hanya ada satu SMA. SMA terdekat ada di Tanobato (baru diresmikan) dan Kecamatan Siabu. Dapat dipastikan, semua siswa yang baru tamat akan merasa bingung, terombang ambing, persis layangan putus. Tak tahu harus kemana. Jika tetap di kampung, maka pacul dan “tajak” sudah menunggu atau pisau deres untuk menyadap karet sudah menanti. Luas sawah dan kebun karet tidak pernah bertambah, tapi jumlah penduduk terus meningkat. Rasio lahan perkapita semakin merosot dan produktivitas lahan yang stagnan. Sumber penghidupan makin susah. Dua tiga tahun setelah lulus SMA, jika tidak merantau, tidak ada lagi yang difikirkan selain menikah. Kehidupan selanjutnya, tak ubahnya seperti generasi-generasi sebelumnya, bergumul dengan kemiskinan. Ritme kehidupan seperti ini, dilalui sebagian besar anak muda di Panyabungan ketika itu. Tidak sampai 10 persen anak muda yang berani mengadu nasib di kota-kota besar.

Tidak lebih dari hitungan jari tangan yang bisa melanjutkan ke PTS karena masalah biaya. Menembus PTN adalah pekerjaan yang sulit luar biasa. Bukan karena siswa SMA kala itu tidak menguasai materi yang diberikan, tetapi materi yang diterima tidak cukup untuk menembus Sepenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Nilai ujian lokal (rapor) jauh lebih tinggi dari NEM (Nilai Ebtanas Murni). Ini indikator sederhana yang menunjukkan betapa materi pelajaran yang diterima jauh ketinggalan dibandingkan dengan standard nasional. Kira-kira seperti itulah masalah yang dirasakan oleh peserta UAN (Ujian Akhir Nasional) sekarang ini, terutama SLTA yang berada di daerah-daerah pedesaan. Jadi, persoalan mutu pendidikan itu melibatkan banyak variabel yang saling terkait.

Jika ingin masuk PTN ketika itu, maka SMA-nya harus ditambah setahun lagi dengan mengiktui Bimbingan Tes di Medan. Jalur ini yang ditempuh adek kandung Lian Lubis, yang menduduki salah satu kursi panas di Teknik Kimia USU. Hanya hitungan jari, putra Panyabungan yang mampu menaklukkan USU dengan cara ini. Coba hitung jumlah mereka di markas Komplek Pamen, Jl. Letjend Jamin Ginting, Medan. Dari tahun ke tahun, jumlah mereka tidak pernah menggembirakan.

Nasib lagi mujur, Lian Lubis menerima sepucuk surat dari SMAN Panyabungan berkop Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen P dan K. Isinya menyatakan bahwa Lian Lubis diterima di salah satu PTN di Sumatera Selatan lewat jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan). Ketika itu, Lian merupakan angkatan ke-2 jalur PMDK. Cikal bakal jalur PMDK berasal dari gagasan (Alm) Andi Hakim Nasution, mantan rektor IPB, yang kebetulan masih keturunan Mandailing, meskipun lahirnya sudah di daerah lain. Tepatnya berasal dari Pidoli, Panyabungan.

Pada waktu itu, alumni SMAN Panyabungan yang diterima di PTN lewat jalur PMDK lumayan banyak. Namun karena informasi tentang jurusan-jurusan yang prospektif di PTN tidak diketahui, maka banyak yang diterima di PTN yang salah pilih dan baru sadar setelah Semester pertama berlangsung. Ada yang diterima di FKIP jurusan Pendidikan Moral Pancasila, Sejarah, Olah Raga dan Kesehatan, Bahasa Indonesia dan jurusan-jurusan yang "tidak diperhitungkan" lainnya. Ini satu cerita menarik, kawan Lian Lubis diterima di Jurusan Tata Boga salah satu PTN. Rupanya difikirnya, Tata Boga itu lanjutan dari Tata Buku, yang merupakan pelajaran pavorite di kala itu, karena selalu mencatat uang masuk dan uang keluar. Setelah berlangsung satu semester, yang dipelajari tidak keluar dari resep-resep masakan. Akhirnya kawan tersebut pulang kampung, kembali pegang pacul. Ini pekerjaan yang lebih maskulin daripada jadi tukang masak. Demikian fikirnya.

Di bagian bawah surat PMDK itu, tertera sebuah tandatangan atas nama Dirjend Dikti. Tandatangan itu sangat bersahaja. Formatnya datar tetapi dengan lekuk yang rame, namun konsisten. Tarikan awal tandatangan mewakili huruf depan nama pemiliknya. Nama aslinya terdiri dari dua kata, namun dalam tandatangan digabung dalam satu tarikan. Tanpa garis lurus di bawahnya seperti kebiasaan tandatangan pada umumnya. Bila diperhatikan dengan seksama, tandatangan itu masih mewakili nama terang. Lekukan tandangan itu menggambarkan bahwa pemiliknya bukanlah orang yang mudah atau gampangan, tetapi sangat konsisten dalam prinsip. Di bawah tandatangan itu ada nama terang bergelar guru besar.

Entah apa sebabnya, Lian sangat terkesan dengan tandatangan itu. Ribuan tandatangan pernah dilihat Lian, tapi yang satu ini lain, seolah-olah punya daya magis. Mungkin karena tandatangan ini terkait dengan masa depan Lian. Kawan…., tandatangan juga bisa menggambarkan kepribadian seseorang. Tandatangan yang di bagian depan besar (seperti pintu gerbang) terus mengecil ke belakang, tapi dibagian belakang seolah diikat, seperti digembok. Pemilik tandatangan seperti ini, orangnya sangat pelit medit. Semua uang masuk akan sulit keluar, bahkan menetespun tidak. Persis bubu penangkap belut (luka bolut dalam bahasa Panyabungan). Contoh tandatangan seperti ini adalah milik mantan atasan Lian.

Karena pemilik tandatangan di surat PMDK itu orang penting di Republik ini, sudah pasti tantangan itu sering tertuang sebagai pengesahan berlakunya kebijakan-kebijakan penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Ada yang menjadi korban kebijakan, tapi banyak yang beruntung dengan tandatangan itu. Lian termasuk yang beruntung.

Surat itu merupakan tiket gratis masuk PTN. Maksudnya, masuknya tanpa tes, tetapi uang kuliah tetap bayar. SPP hanya Rp65.000 per semester. Kertas suratnya relatif lebar dari ukuran kertas biasa tapi lebih pendek. Kiri kanan kertas berlubang rapi. Tiga tahun kemudian, Lian baru tahu bahwa kertas itu adalah continous form yang dicetak dengan printer dot matrik dengan huruf times new roman 12. Karena teknologi printer masih sederhana, maka jelas kelihatan bahwa huruf-huruf di kertas itu merupakan rangkaian titik-titik yang membentuk huruf. Masih kasar.

Untuk saat itu, surat tersebut merupakan dokumen paling penting bagi Lian. Menurut hitung-hitungan akal sehat, surat itu merupakan pembuka pintu gerbang masa depan. Kala itu, lulusan perguruan tinggi, apalagi PTN masih sangat diperhitungkan dalam dunia kerja. Kemungkinan drop out ada, tapi relatif kecil, karena Lian sudah terlatih menderita dan terbiasa bekerja keras. Baginya, di atas semua itu, masih ada do’a. Jika dilalui dengan sungguh-sungguh, insyaallah bisa lulus. Bukankah surat itu merupakan legitimasi adaministratif kemampuan pemiliknya untuk menempuh pendidikan tinggi. Sebagai manusia, rasa rendah diri karena berasal dari kelas sosial terendah pasti ada, tetapi motivasi dan mimpi-mimpi mengalahkan semua itu.

Karena dokumen penting dan merupakan tonggak sejarah kehidupan, surat itu disimpan ditempat yang sangat rapi. Tasnya ditarok di atas lemari, agar aman dari banjir. Hujan tidak hujan, kedatangan banjir tidak bisa diduga di kota Palembang. Bulan purnama mempengaruhi pasang surut air sungai Musi dan pasang surut menentukan banjir di daerah-daerah rawa. Hingga tas penyimpan dokumen itu beberapa kali diganti karena lapuk, namun isinya tetap terawat. Beberapa kali pindah tempat kos, surat sakral itu tetap menjadi prioritas utama.

Waktu terus berlalu, 15 tahun kemudian, Lian menempuh Program Doktor di Universitas tertua dan ternama di kota Yogyakarta. Semester pertama di kelas Doktoral, maha guru pemilik tandatangan itu mengajar Metodologi Ilmu Ekonomi. Lian tersentak bukan main. Tidak pernah terbayangkan, pemilik tandatangan yang ia kagumi selama bertahun-tahun itu kini berada di depan kelas. Ya… Alloh… Mimpikah ini atau kenyataan? Hanya Engkau yang Kuasa atas segalanya. Seperi jumpa sang idola dengan rasa rindu yang meledak-ledak, tapi luapan ekspresi yang hiteris harus disimpan total. Ingat……!! Ini kelas doktoral, dan bukan acara Dangdut Mania.

Kelas kecil dengan 6 orang mahasiswa doktoral. Tanpa membaca bahan sebelumnya, rasanya panas dingin memasuki kelas. Semacam kelas round table, diskusi berlangsung serius. Gaya bicaranya datar, pelan dan volume suaranya agak rendah, sistematika bicaranya runut dengan logika-logika yang luar biasa. Dalam narasinya, ilmu pengetahuan itu menjadi utuh dan menjadi bangunan yang kokoh, sementara dalam otak mahasiswanya, materi yang dia jelaskan itu, bukan hanya terfragmentasi tetapi malahan berantakan terkeping-keping dalam bagan-bagan pengetahuan. Enam bab sekali kuliah dirangkumnya dengan narasinya sendiri. Meskipun sudah sepuh, tetapi daya ingatnya luar biasa tajamnya. Fisiknya rontok termakan usia, tetapi otaknya tak pernah menua. Setelah melanglang buana memangku berbagai jabatan penting dalam pemerintahan, pensiunnya kembali ke kampus dan masih mampu mengajar S-3. Belum pernah ketemu orang dengan daya ingat setajam itu. Sejarah dunia, sejarah Majapahit sampai pada perang Vietnam dapat dirunut kejadiannya, lengkap dengan tahun dan nama pelakunya. Tidak diragukan lagi, maha guru itu sebagai alumni Universitas California, Berkley, AS. Garis pemikiran dari Universitas ini telah meletakkan fondasi-fondasi ekonomi di zaman ORBA, meskipun akhirnya menuai hujan kritik dan menyebut aliran pemikiran ini sebagai mafia Berkeley.

Setelah usai kelas perdana dengan maha guru itu, Lian buru-buru pulang ke tempat kost. Dia periksa kembali tandatangan guru besar itu di absensi mahasiswa dan dicocokkannya dengan surat PMDK yang berumur 15 tahun itu. Luar biasa, tidak ada yang berubah. Goresan demi goresan tetap konsisten. Sejak saat itu, timbul suatu keinginan yang kuat untuk memilih guru besar itu sebagai promotor (pembimbing) disertasinya.

Silsilah guru

Selama kuliah S-1 di Palembang, Lian ketemu dengan Profesor Hasibuan (sebut saja pak HS). Tentu saja masih tergolong suku Mandailing. Menurut silsilahnya, pak HS berasal dari Padang Bolak, Padang Sidempuan Timur. Pak HS adalah ilmuan yang sangat kharismatik, disiplin, pekerja keras, brillian, seorang penulis, peneliti dan sekaligus orator. Singkat cerita, Lian menjadi asisten pak HS. Harus diakui, Pak HS mempunyai peran besar dalam kehidupan Lian. Bukan hanya sebagai guru dalam menulis dan meneliti, tetapi menjadi guru dalam mengarugi kehidupan. Lian mempunyai utang budi yang tak pernah terbayar dengan apapun pada pak HS. Sulit untuk menguraikan besarnya peran pak HS dalam kehidupan Lian, cukup kusingkat dengan satu kalimat, “Pak HS merupakan orang ketiga yang paling dihormati Lian sepanjang hidupnya, setelah kedua orangtuanya”.

Pak HS sendiri adalah murid dari maha guru pemilik tandatangan itu. Jika diurut, Lian merupakan murid dari murid guru besar di Yogya itu. Setingkat cucu jika ditamsilkan menurut silsilah keluarga. Meskipun begitu, semua berlangsung secara professional. Di satu sisi ada manfaatnya, tapi di sisi lain, mudoratnya juga tidak kalah besarnya. Lian harus menjaga betul agar nama pak HS tidak pudar di mata gurunya, dengan menampilkan kinerja yang bagus. Setelah lama berinteraksi dengan maha guru di Yogya itu, Lian sadar betul bahwa karakter pak HS tidak jauh beda dengan gurunya. Mungkin kebetulan sama, atau tanpa disadari sifat-sifat guru, sedikit banyak menurun pada muridnya. Secara mental, Lian siap menghadapinya, meskipun tidak banyak mahasiswa doktoral yang nekad menjadikannya sebagai pembimbing.

Penutup

Pragmen ini kuakhiri sampai di sini. Tandatangan idaman itu tak pernah digoreskan lagi. Pemiliknya telah menghadap Sang Pencipta, kira-kira delapan bulan setelah Lian diwisuda. Terakhir kali ketemu dengan beliau pada saat pamitan setelah wisuda. Pada pertemuan terakhir itu, untuk pertama kalinya Lian melihat maha guru itu meneteskan air mata. Air mata pertama dan terakhir. Waktu itu, Lian berkata begini, “Pak saya mohon maaf atas segala kesalahan. Sekian lama saya terus mengganggu bapak, pasti saya banyak salah, baik disengaja maupun tidak.” Lianpun tidak sanggup berkata lagi. Keduanya sama-sama menitikkan air mata. Guru yang kukagumi itu langsung masuk rumah, sambil berkata, “OK, saya sekarang sangat sensitive, setelah kesehatan saya sangat menurun belakangan ini.” Jelas kelihatan, air mukanya menggambarkan kesedihan dan keharuan yang mendalam. Inikah tanda-tanda isyarat perpisahan telah dekat? Perubahan drastis pada karakter maha guru itu terlihat secara signifikan pasca operasinya yang terakhir. Sebelumnya, beliau keras dalam mendidik, konsisten dan sangat disiplin. Terlambat dari waktu perjanjian tidak bisa ditolerirnya, tapi terlalu cepat dari perjanjian juga bermasalah baginya.

Lian Lubis-lah Doktor terakhir yang dihasilkan oleh pendidik bertangan dingin itu. Selamat jalan guruku, semoga mendapat tempat yang layak di sisiNya. Ilmu yang kau berikan akan terus kusampaikan. Semoga pahala dari ilmu yang kauajarkan terus mengalir ke rekening amalmu. Amiiiin.